Kemunculan sejarah pemerintahan lokal Pamekasan, diperkirakan baru diketahui sejak pertengahan abad ke-15 berdasarkan sumber sejarah tentang lahirnya mitos atau legenda Aryo Menak Sunoyo yang mulai merintis pemerintahan lokal di daerah Proppo atau Parupuk. Jauh sebelum munculnya legenda ini, keberadaan Pamekasan tidak banyak dibicarakan. Diperkirakan, Pamekasan merupakan bagian dari pemerintahan Madura di Sumenep yang telah berdiri sejak pengangkatan Arya Wiraraja pada tanggal 13 Oktober 1268 oleh Kertanegara.
Senin, 09 Juli 2012
Sejarah Pamekasan
Tag
Mechazhen
Kabupaten Pamekasan lahir dari proses sejarah yang
cukup panjang. Istilah Pamekasan sendiri baru dikenal pada sepertiga abad
ke-16, ketika Ronggosukowati mulai memindahkan pusat pemerintahan dari Kraton
Labangan Daja ke Kraton Mandilaras. Memang belum cukup bukti tertulis yang
menyebutkan proses perpindahan pusat pemerintahan sehingga terjadi perubahan
nama wilayah ini. Begitu juga munculnya sejarah pemerintahan di Pamekasan
sangat jarang ditemukan bukti-bukti tertulis apalagi prasasti yang menjelaskan
tentang kapan dan bagaimana keberadaannya.
Kemunculan sejarah pemerintahan lokal Pamekasan, diperkirakan baru diketahui sejak pertengahan abad ke-15 berdasarkan sumber sejarah tentang lahirnya mitos atau legenda Aryo Menak Sunoyo yang mulai merintis pemerintahan lokal di daerah Proppo atau Parupuk. Jauh sebelum munculnya legenda ini, keberadaan Pamekasan tidak banyak dibicarakan. Diperkirakan, Pamekasan merupakan bagian dari pemerintahan Madura di Sumenep yang telah berdiri sejak pengangkatan Arya Wiraraja pada tanggal 13 Oktober 1268 oleh Kertanegara.
Jika pemerintahan lokal Pamekasan
lahir pada abad 15, tidak dapat disangkal bahwa kabupaten ini lahir pada jaman
kegelapan Majapahit yaitu pada saat daerah-daerah pesisir di wilayah kekuasaan
Majapahit mulai merintis berdirinya pemerintahan sendiri.
Berkaitan dengan sejarah kegelapan
Majapahit tentu tidak bisa dipungkiri tentang kemiskinan data sejarah karena di
Majapahit sendiri telah sibuk dengan upaya mempertahankan bekas wilayah pemerintahannya
yang sangat besar, apalagi saat itu sastrawan-sastrawan terkenal setingkat Mpu
Prapanca dan Mpu Tantular tidak banyak menghasilkan karya sastra. Sedangkan
pada kehidupan masyarakat Madura sendiri, nampaknya lebih berkembang sastra
lisan dibandingkan dengan sastra tulis Graaf (2001) menulis bahwa orang Madura
tidak mempunyai sejarah tertulis dalam bahasa sendiri mengenai raja-raja
pribumi pada zaman pra-islam.
Tulisan-tulisan yang kemudian mulai
diperkenalkan sejarah pemerintahan Pamekasan ini pada awalnya lebih banyak
ditulis oleh penulis Belanda sehingga banyak menggunakan Bahasa Belanda dan
kemudian mulai diterjemahkan atau ditulis kembali oleh sejarawan Madura,
seperti Zainal fatah ataupun Abdurrahman. Memang masih ada bukti-bukti tertulis
lainnya yang berkembang di masyarakat, seperti tulisan pada daun lontar atau
Layang Madura, namun demikian tulisan pada layang inipun lebih banyak
menceritakan sejarah kehidupan para Nabi (Rasul) dan sahabatnya, termasuk juga
ajaran-ajaran agama sebagai salah satu sumber pelajaran agama bagi masyarakat
luas.
Masa pencerahan sejarah lokal
Pamekasan mulai terungkap sekitar paruh kedua abad ke-16, ketika pengaruh
Mataram mulai masuk di Madura, terlebih lagi ketika Ronggosukowati mulai
mereformasi pemerintahan dan pembangunan di wilayahnya. Bahkan, raja ini
disebut-sebut sebagai raja Pertama di Pamekasan yang secara terang-terangan
mulai mengembangkan Agama Islam di kraton dan rakyatnya
Hal ini diperkuat dengan pembuatan
jalan Se Jimat, yaitu jalan-jalan di Alun-alun kota Pamekasan dan mendirikan
Masjid Jamik Pamekasan. Namun demikian, sampai saat ini masih belum bisa
diketemukan adanya inskripsi ataupun prasasti pada beberapa situs
peninggalannya untuk menentukan kepastian tanggal dan bulan pada saat pertama
kali ia memerintah Pamekasan.
Bahkan zaman pemerintahan
Ronggosukowati mulai dikenal sejak berkembangnya legenda kyai Joko Piturun,
pusaka andalan Ronggosukowati yang diceritakan mampu membunuh Pangeran Lemah
Duwur dari Aresbaya melalui peristiwa mimpi. Padahal temuan ini sangat penting
karena dianggap memiliki nilai sejarah untuk menentukan Hari Jadi Kota
Pamekasan.
Terungkapnya sejarah pemerintahan di
Pamekasan semakin ada titik terang setelah berhasilnya invansi Mataram ke
Madura dan merintis pemerintahan lokal dibawah pengawasan Mataram. Hal ini
dikisahkan dalam beberapa karya tulis seperti Babad Mataram dan Sejarah Dalem
serta telah adanya beberapa penelitian sejarah oleh Sarjana barat yang lebih
banyak dikaitkan dengan perkembangan sosial dan agama, khususnya perkembangan
Islam di Pulau Jawa dan Madura, seperti Graaf dan TH. Pigeaud tentang kerajaan
Islam pertama di Jawa dan Benda tentang Matahari Terbit dan Bulan Sabit,
termasuk juga beberapa karya penelitian lainnya yang menceritakan sejarah
Madura.
Masa-masa berikutnya yaitu masa-masa
yang lebih cerah sebab telah banyak tulisan berupa hasil penelitian yang
didasarkan pada tulisan-tulisan sejarah Madura termasuk Pamekasan dari segi
pemerintahan, politik, ekonomi, sosial dan agama, mulai dari masuknya pengaruh
Mataram khususnya dalam pemerintahan Madura Barat (Bangkalan dan Pamekasan),
masa campur tangan pemerintahan Belanda yang sempat menimbulkan pro dan kontra
bagi para Penguasa Madura, dan menimbulkan peperangan Pangeran Trunojoyo dan
Ke’ Lesap, dan terakhir pada saat terjadinya pemerintahan kolonial Belanda di
Madura.
Pada masa pemerintahan Kolonial
Belanda inilah, nampaknya Pamekasan untuk perkembangan politik nasional tidak
menguntungkan, tetapi disisi lain, para penguasa Pamekasan seperti diibaratkan
pada pepatah Buppa’, Babu’, Guru, Rato telah banyak dimanfaatkan oleh
pemerintahan Kolonial untuk kerentanan politiknya. Hal ini terbukti dengan
banyaknya penguasa Madura yang dimanfaatkan oleh Belanda untuk memadamkan
beberapa pemberontakan di Nusantara yang dianggap merugikan pemerintahan
kolonial dan penggunaan tenaga kerja Madura untuk kepentingan perkembangan
ekonomi Kolonial pada beberapa perusahaan Barat yang ada didaerah Jawa,
khususnya Jawa Timur bagian timur (Karisidenan Basuki).
Tenaga kerja Madura dimanfaatkan
sebagai tenaga buruh pada beberapa perkebunan Belanda. Orang-orang Pamekasan
sendiri pada akhirnya banyak hijrah dan menetap di daerah Bondowoso. Walaupun‚
sisi lain, seperti yang ditulis oleh peneliti Belanda masa Hindia Belanda telah
menyebabkan terbukanya Madura dengan dunia luar yang menyebabkan orang-orang
kecil mengetahui system komersialisasi dan industrialisasi yang sangat
bermanfaat untuk gerakan-gerakan politik masa berikutnya dan muncul kesadaran
kebangsaan, masa Hindia Belanda telah menorehkan sejarah tentang pedihnya luka
akibat penjajahan yang dilakukan oleh bangsa asing.
Memberlakukan dan perlindungan
terhadap system apanage telah membuat orang-orang kecil di pedesaan tidak bisa
menikmati hak-haknya secara bebas. Begitu juga ketika politik etis
diberlakukan, rakyat Madura telah diperkenalkan akan pentingnya pendidikan dan
industri, tetapi disisi lain, keuntungan politik etis yang dinikmati oleh
rakyat Madura termasuk Pamekasan harus ditebus dengan hancurnya ekologi Madura
secara berkepanjangan, atau sedikitnya sampai masa pemulihan keadaan yang
dipelopori oleh Residen R. Soenarto Hadiwidjojo. Bahwa pencabutan hak apanage
yang diberikan kepada para bangsawan dan raja-raja Madura telah mengarah kepada
kehancuran prestise pemegangnya yang selama beberapa abad disandangnya.
Perkembangan Pamekasan, walaupun
tidak terlalu banyak bukti tertulis berupa manuskrip ataupun inskripsi
nampaknya memiliki peran yang cukup penting pada pertumbuhan kesadaran
kebangsaan yang mulai berkembang di negara kita pada zaman Kebangkitan dan
Pergerakan Nasional.
Banyak tokoh-tokoh Pamekasan yang
kemudian bergabung dengan partai-partai politik nasional yang mulai bangkit
seperti Sarikat Islam dan Nahdatul Ulama diakui sebagai tokoh nasional. Kita
mengenal Tabrani, sebagai pencetus Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan
yang mulai dihembuskan pada saat terjadinya Kongres Pemuda pertama pada tahun
1926, namun terjadi perselisihan faham dengan tokoh nasional lainnya di kongres
tersebut. Pada Kongres Pemuda kedua tahun 1928 antara Tabrani dengan tokoh
lainnya seperti Mohammad Yamin sudah tidak lagi bersilang pendapat.
Pergaulan tokoh-tokoh Pamekasan pada
tingkat nasional baik secara perorangan ataupun melalui partai-partai politik
yang bermunculan pada saat itu, ditambah dengan kejadian-kejadian historis
sekitar persiapan kemerdekaan yang kemudian disusul dengan tragedi-tragedi pada
zaman pendudukan Jepang ternyata mampu mendorong semakin kuatnya kesadaran para
tokoh Pamekasan akan pentingnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
kemudian bahwa sebagian besar rakyat Madura termasuk Pamekasan tidak bisa
menerima terbentuknya negara Madura sebagai salah satu upaya Pemerintahan
Kolonial Belanda untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa
Melihat dari sedikitnya, bahkan
hampir tidak ada sama sekali prasasti maupun inskripsi sebagai sumber penulisan
ini, maka data-data ataupun fakta yang digunakan untuk menganalisis peristiwa
yang terjadi tetap diupayakan menggunakan data-data sekunder berupa buku-buku
sejarah ataupun Layang Madura yang diperkirakan memiliki kaitan peristiwa
dengan kejadian sejarah yang ada. Selain itu diupayakan menggunakan data primer
dari beberapa informan kunci yaitu para sesepuh Pamekasan. (www.
pamekasan.go.id)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar